Perang Atau Bantulah
Aku Takihiro
Karya: Tri Rahayu Nur Rohmah
Disana tertata meja kayu rapuh dan
ia duduk di kursi kayu buatannya sendiri, “Apa yang harus aku lakukan,
berpikirlah...berpikirlah lebih keras !!” katanya dalam hati, hanya diam yang
bisa ia lakukan. Apakah otaknya sudah berhenti bekerja...di gubuk tua dalam
hutan dia tinggal sendirian, jauh dari perkampungan, dan sangat jauh dari
perkampungan...ku pikir. Berjam-jam Nami duduk disana tapi tidak membuahkan
hasil, tak lama setelah pemikiran panjangnya kemudian ia berdiri,
bergegas mencari-cari barangkali ada selembar kertas dan pena atau barang lain
yang bisa diberikan. Wajah muram dan kesal nampak membuat bingung perasaan yang
ia gambarkan. “Ah...sudah ketemu”, lalu ditulislah kata-kata diatasnya, dilipat
pula kertas itu dua kali lalu ia masukkan ke tas usang yang juga buatannya
sendiri.
Nami bertanya-tanya...dan
menemukan jawaban atas kegelisahan hatinya, “aku harus pergi sekarang juga, tak
peduli apa yang akan terjadi nantinya.” Tapi gagasan untuk pergi tidak datang
di waktu yang tepat, hari sudah petang dan perut kecilnya kelaparan. Tentunya
Nami tidak mau mati secepat yang ia kira, mungkin aku akan berangkat besok pagi
buta.
Pagi harinya, kabut menutupi
seluruh pandangan matanya. Tekad bulat Nami untuk pergi tak terelakkan, segera
ia santap sarapan paginya.Sayangnya pagi ini Nami benar-benar pergi dengan
penuh kebencian kepada Takihiro. Nami pergi sendirian tanpa seorangpun
menemaninya, jubah besar dan tebal cukupmelindunginya dari udara dingin hutan
dan nyamuk-nyamuk yang beterbangan disana. Nami sudah tidak punya apa-apa lagi,
perbekalannya sangat sedikit untuk orang yang harus berjalan jauh. Tiga hari
yang lalu dia masih punya dua kuda jantan yang kuat dan bisa membawanya pergi
namun sudah lenyap dilepaskannya dari penambat. “alangkah bodohnya diriku,
buruknya kemarahanku, kebencianku mulai tumbuh Takihiro. Bantu aku...cepat
bantu aku atau aku akan mati membusuk dalam kesengsaraan yang menyiksa jiwa dan
ragaku”.
Semua juga tahu, hutan yang ia
sebrangi sungguh lebat. Matahari saja kesulitan menembuskan sinarnya. Nami
terus memaksakan kakinya melangkah, nafasnya yang pendek terengah-engah sembari
menebas dedaunan dan ranting pohon yang menghalangi jalannya. Sudah dua kali
matahari terbit dan tenggelam, ah tidak...mungkin sudah tiga kali, ia tak
begitu serius menghitung hari. Perutnya yang lapar sesekali ia isi dengan daun
mint yang tumbuh, kalaupun tidak ada akan ia ganjal dengan batu lalu ia eratkan
kain melingkari perutnya. Tak terasa, sudah larut malam rupanya, beruntung ia
masih punya jubah besar dan tebal pemberian Takihiro. Sesekali ia juga bertemu
hewan-hewan kecil dalam perjalanannya, tapi malam itu ular besar berhasil
menggigit kaki kirinya, Nami tambah kesal dibuatnya. “arghhh...ini untukmu
Takihiro” kodachi miliknya berhasil menebas leher ular sebelum ular itu sempat
melumat kaki kiri dan tubuhnya.
“alangkah bodohnya diriku,
buruknya kemarahanku, kebencianku mulai tumbuh Takihiro. Bantu aku...cepat
bantu aku atau aku akan mati membusuk dalam kesengsaraan yang menyiksa jiwa dan
ragaku” kata-kata itu terus saja bermain-main di benaknya.
4 hari setelah perjalanan panjang
di hutan Yakushima...
Udara dingin dan lembab hutan
perlahan menghangat, dirinya tergerak menuju jalan terang didepan. Cahaya
matahari mulai menyilaukan matanya. Sekarang Nami harus menyusuri gurun pasir
yang sama sekali belum pernah ia tapaki. “huh...tenang saja,aku tidak akan mati
Takihiro” kemudian Nami tersenyum kecil dan kesal kembali pada Takihiro. Baru
setengah hari berjalan kakinya memanas dahsyat, ia lalu berpikir, andai ia
tidak melepaskan kedua kudanya...pasti tak akan seberat ini perjalanannya.
Tidak ada air, tidak ada dedaunan, tidak ada makanan apapun. Angin kencang dari
barat tiba-tiba datang, menghempaskan Nami beberapa meter di permukaan gurun.
Saat itu pula ia merasa sangat bersalah pada dirinya sendiri. Ia mulai
berhalusinasi dan sesak napas ditengah badai pasir yang menghantam tubuhnya.
Nami mulai putus asa dan pasrah, mungkin jika ia mati ia akan dengan mudah
bertemu Takihiro tanpa harus menempuh jarak yang jauh.
***
“kau sudah bangun ternyata, aku
akan berhenti nona” seorang pemuda berkata sembari menaiki kuda hitamnya.
Pemuda itu lalu turun dari kuda, dengan satu tangan ia menopang tubuh lemah
Nami yang berada dibelakang. Mereka kemudian berteduh dibawah bayangan kuda
yang berdiri menghalangi cahaya matahari. Nami tampak kebingungan, dengan
kondisi tubuhnya yang sangat lemah, ia mencoba bertanya...belum sempat
berbicara, pemuda itu memberinya secawan air minum dan memperkenalkan diri.
“aku Nase, kamu tidak perlu takut nona, aku akan membawamu pergi
bersamaku...ketempat yang indah dan damai, kita harus cepat sebelum ada badai
pasir lagi”, “ehm”Nami hanya bisa pasrah. Tidak ada percakapan berarti diantara
keduanya.
Hari mulai malam, Nase mendudukkan
kudanya. Nami yang lemah ia ikat dengan kain bersamanya agar tidak jatuh dari
kuda. Nase segera membawanya, kudanya berlari kencang menembus gurun pasir.
Dalam perjalanannya, Nami tertidur lelap, “Namiku, maafkan aku..bersabarlah
sebentar lagi, maafkan aku”, kata Takihiro dalam mimpi Nami.
Pagi hari ketika pasar sedang
ramai dengan orang-orang desa yang beraktivitas, mereka berhenti sejenak dan
Nase membelikan pakaian yang pantas untuk Nami. Lalu perjalanan masih
berlanjut, kudanya berjalan menuju istana yang tak jauh dari desa itu.
Nampaknya pemuda itu orang yang terpandang dan dihormati, prajurit istana saja
membungkuk padanya. Nami sedikit gugup dan tak tahu harus berbuat apa. “ayo
Nona, akan kuperkenalkan kamu dengan tuanku”, ternyata masih ada yang lebih
tinggi kastanya daripada pemuda ini, mungkin begitu pikir Nami.
Sebenarnya Nami ingin mengatakan
sesuatu, dirinya tidak seharusnya di istana. Ia harus menemui Takihiro. Tapi ia
malu dan takut mengatakannya. Lalu sampailah ia di sebuah ruangan yang amat
besar, namun tidak ada seorangpun yang tinggal. “apa tuan tinggal disini ?”
“tentu tidak nona, saya bukan apa-apa di sini. Maaf, saya harus pergi...ada
tugas yang harus saya penuhi” lalu Nase pergi meninggalkannya tanpa memberinya
perintah yang bisa ia kerjakan. Dan sialnya, kertas bawaan Nami hilang ketika
ada badai dan ia lupa apa yang ditulisnya.Mungkinkah sebuah alamat atau kalimat
untuk Takihiro ?
“Namiku”, tiba-tiba Takihiro
datang dan memeluk dari belakang, suaranya pelan tapi meluluhkan. Nami
benar-benar tidak tahu apakah ini sungguh terjadi. Saat itu juga, ia kesal dan
memarahi Takihiro, pantas saja hal ini terjadi, Takihiro yang setidaknya harus
menemui Nami setiap bulan...malah tidak jelas kabarnya dan sudah tiga bulan ini
ia tidak menemui Nami. “aku marah padamu...aku sudah sering menolak tinggal
bersamamu karna...penduduk desa menganggapku sebagai pembunuh ayahmu (Nami
kesal dan menoleh kebelakang). Kudaku t’lah kulepas karna aku geram padamu”.
Nami lalu menjauh beberapa meter darinya dan mengacungkan pedang kodachinya
kearah Takihiro. Takihiro merasa sangat bersalah, ia lalu meminta maaf pada
Nami dan berjanji akan membuatnya bahagia. “kamu tentunya tidak akan membunuh
orang yang kamu cintai kan ? hiduplah bersamaku, paman Roku yang telah membunuh
ayahku...dan sekarang ia sudah diasingkan”. Selama tiga bulan, ternyata
Takihiro sakit parah akibat pertempurannya melawan ksatria negeri Timur yang
menyerang istana secara tiba-tiba. Nami tersenyum dan akhirnya memaafkan
Takihiro yang sangat dicintainya itu. Beberapa hari kemudian mereka menikah,
semua penduduk desa dan tamu dari kerajaan sekutu menyaksikannya. Perayaan
diadakan secara sederhana, Nami meminta agar disetiap sudut desa ditaNami bunga
sakura, bunga yang selalu Takihiro bawa ketika menemui
Nami di hutan.