Prinsip Kerja Subscriber Internet Telepon

Prinsip Kerja Subscriber Internet Telepon

Prinsip Kerja Subscriber Internet Telepon
Pengertian Subcriber
Teknologi yang menyediakan penghantar data digital melewati kabel yang digunakan dalam jarak dekat dari jaringan telepon setempat. Biasanya kecepatan unduh dari DSL berkisar dari 128 kb/d sampai 24.000 kb/d tergantung dari teknologi DSL tersebut. Kecepatan unggah DSL lebih rendah dari unduh versi ADSL dan sama cepat untuk SDSL.
Prinsip Kerja Subsciber pada Internet Telepon
ADSL menggunakan kabel telpon yang telah ada, jadi bukan fiber optics. ADSL juga dijuluki revolusi di bidang internet atau istilah asingnya “broadband”.
ADSL mampu mengirimkan data dengan kecepatan bit yang tinggi, berkisar antara 1.5 Mbps – 8 Mbps untuk arah downstream (sentral – pelanggan), dan antara 16 Kbps – 640 Kbps untuk arah upstream (pelanggan – sentral). Kemampuan transmisi ADSL inilah yang mampu mengirimkan layanan interaktif multimedia melalui jaringan akses tembaga. ADSL sendiri merupakan salah satu anggota dari “DSL Family”. Teknologi x-DSL sendiri mempunyai berbagai macam variasi.
Perang Atau Bantulah Aku Takihiro

Perang Atau Bantulah Aku Takihiro





Perang Atau Bantulah Aku Takihiro
Karya: Tri Rahayu Nur Rohmah

Disana tertata meja kayu rapuh dan ia duduk di kursi kayu buatannya sendiri, “Apa yang harus aku lakukan, berpikirlah...berpikirlah lebih keras !!” katanya dalam hati, hanya diam yang bisa ia lakukan. Apakah otaknya sudah berhenti bekerja...di gubuk tua dalam hutan dia tinggal sendirian, jauh dari perkampungan, dan sangat jauh dari perkampungan...ku pikir. Berjam-jam Nami duduk disana tapi tidak membuahkan hasil, tak lama setelah pemikiran panjangnya kemudian  ia berdiri, bergegas mencari-cari barangkali ada selembar kertas dan pena atau barang lain yang bisa diberikan. Wajah muram dan kesal nampak membuat bingung perasaan yang ia gambarkan. “Ah...sudah ketemu”, lalu ditulislah kata-kata diatasnya, dilipat pula kertas itu dua kali lalu ia masukkan ke tas usang yang juga buatannya sendiri.
Nami bertanya-tanya...dan menemukan jawaban atas kegelisahan hatinya, “aku harus pergi sekarang juga, tak peduli apa yang akan terjadi nantinya.” Tapi gagasan untuk pergi tidak datang di waktu yang tepat, hari sudah petang dan perut kecilnya kelaparan. Tentunya Nami tidak mau mati secepat yang ia kira, mungkin aku akan berangkat besok pagi buta.
Pagi harinya, kabut menutupi seluruh pandangan matanya. Tekad bulat Nami untuk pergi tak terelakkan, segera ia santap sarapan paginya.Sayangnya pagi ini Nami benar-benar pergi dengan penuh kebencian kepada Takihiro. Nami pergi sendirian tanpa seorangpun menemaninya, jubah besar dan tebal cukupmelindunginya dari udara dingin hutan dan nyamuk-nyamuk yang beterbangan disana. Nami sudah tidak punya apa-apa lagi, perbekalannya sangat sedikit untuk orang yang harus berjalan jauh. Tiga hari yang lalu dia masih punya dua kuda jantan yang kuat dan bisa membawanya pergi namun sudah lenyap dilepaskannya dari penambat. “alangkah bodohnya diriku, buruknya kemarahanku, kebencianku mulai tumbuh Takihiro. Bantu aku...cepat bantu aku atau aku akan mati membusuk dalam kesengsaraan yang menyiksa jiwa dan ragaku”.
Semua juga tahu, hutan yang ia sebrangi sungguh lebat. Matahari saja kesulitan menembuskan sinarnya. Nami terus memaksakan kakinya melangkah, nafasnya yang pendek terengah-engah sembari menebas dedaunan dan ranting pohon yang menghalangi jalannya. Sudah dua kali matahari terbit dan tenggelam, ah tidak...mungkin sudah tiga kali, ia tak begitu serius menghitung hari. Perutnya yang lapar sesekali ia isi dengan daun mint yang tumbuh, kalaupun tidak ada akan ia ganjal dengan batu lalu ia eratkan kain melingkari perutnya. Tak terasa, sudah larut malam rupanya, beruntung ia masih punya jubah besar dan tebal pemberian Takihiro. Sesekali ia juga bertemu hewan-hewan kecil dalam perjalanannya, tapi malam itu ular besar berhasil menggigit kaki kirinya, Nami tambah kesal dibuatnya. “arghhh...ini untukmu Takihiro” kodachi miliknya berhasil menebas leher ular sebelum ular itu sempat melumat kaki kiri dan tubuhnya.
“alangkah bodohnya diriku, buruknya kemarahanku, kebencianku mulai tumbuh Takihiro. Bantu aku...cepat bantu aku atau aku akan mati membusuk dalam kesengsaraan yang menyiksa jiwa dan ragaku” kata-kata itu terus saja bermain-main di benaknya.
4 hari setelah perjalanan panjang di hutan Yakushima...
Udara dingin dan lembab hutan perlahan menghangat, dirinya tergerak menuju jalan terang didepan. Cahaya matahari mulai menyilaukan matanya. Sekarang Nami harus menyusuri gurun pasir yang sama sekali belum pernah ia tapaki. “huh...tenang saja,aku tidak akan mati Takihiro” kemudian Nami tersenyum kecil dan kesal kembali pada Takihiro. Baru setengah hari berjalan kakinya memanas dahsyat, ia lalu berpikir, andai ia tidak melepaskan kedua kudanya...pasti tak akan seberat ini perjalanannya. Tidak ada air, tidak ada dedaunan, tidak ada makanan apapun. Angin kencang dari barat tiba-tiba datang, menghempaskan Nami beberapa meter di permukaan gurun. Saat itu pula ia merasa sangat bersalah pada dirinya sendiri. Ia mulai berhalusinasi dan sesak napas ditengah badai pasir yang menghantam tubuhnya. Nami mulai putus asa dan pasrah, mungkin jika ia mati ia akan dengan mudah bertemu Takihiro tanpa harus menempuh jarak yang jauh.
***
“kau sudah bangun ternyata, aku akan berhenti nona” seorang pemuda berkata sembari menaiki kuda hitamnya. Pemuda itu lalu turun dari kuda, dengan satu tangan ia menopang tubuh lemah Nami yang berada dibelakang. Mereka kemudian berteduh dibawah bayangan kuda yang berdiri menghalangi cahaya matahari. Nami tampak kebingungan, dengan kondisi tubuhnya yang sangat lemah, ia mencoba bertanya...belum sempat berbicara, pemuda itu memberinya secawan air minum dan memperkenalkan diri. “aku Nase, kamu tidak perlu takut nona, aku akan membawamu pergi bersamaku...ketempat yang indah dan damai, kita harus cepat sebelum ada badai pasir lagi”, “ehm”Nami hanya bisa pasrah. Tidak ada percakapan berarti diantara keduanya.
Hari mulai malam, Nase mendudukkan kudanya. Nami yang lemah ia ikat dengan kain bersamanya agar tidak jatuh dari kuda. Nase segera membawanya, kudanya berlari kencang menembus gurun pasir. Dalam perjalanannya, Nami tertidur lelap, “Namiku, maafkan aku..bersabarlah sebentar lagi, maafkan aku”, kata Takihiro dalam mimpi Nami.
Pagi hari ketika pasar sedang ramai dengan orang-orang desa yang beraktivitas, mereka berhenti sejenak dan Nase membelikan pakaian yang pantas untuk Nami. Lalu perjalanan masih berlanjut, kudanya berjalan menuju istana yang tak jauh dari desa itu. Nampaknya pemuda itu orang yang terpandang dan dihormati, prajurit istana saja membungkuk padanya. Nami sedikit gugup dan tak tahu harus berbuat apa. “ayo Nona, akan kuperkenalkan kamu dengan tuanku”, ternyata masih ada yang lebih tinggi kastanya daripada pemuda ini, mungkin begitu pikir Nami.
Sebenarnya Nami ingin mengatakan sesuatu, dirinya tidak seharusnya di istana. Ia harus menemui Takihiro. Tapi ia malu dan takut mengatakannya. Lalu sampailah ia di sebuah ruangan yang amat besar, namun tidak ada seorangpun yang tinggal. “apa tuan tinggal disini ?” “tentu tidak nona, saya bukan apa-apa di sini. Maaf, saya harus pergi...ada tugas yang harus saya penuhi” lalu Nase pergi meninggalkannya tanpa memberinya perintah yang bisa ia kerjakan. Dan sialnya, kertas bawaan Nami hilang ketika ada badai dan ia lupa apa yang ditulisnya.Mungkinkah sebuah alamat atau kalimat untuk Takihiro ?
“Namiku”, tiba-tiba Takihiro datang dan memeluk dari belakang, suaranya pelan tapi meluluhkan. Nami benar-benar tidak tahu apakah ini sungguh terjadi. Saat itu juga, ia kesal dan memarahi Takihiro, pantas saja hal ini terjadi, Takihiro yang setidaknya harus menemui Nami setiap bulan...malah tidak jelas kabarnya dan sudah tiga bulan ini ia tidak menemui Nami. “aku marah padamu...aku sudah sering menolak tinggal bersamamu karna...penduduk desa menganggapku sebagai pembunuh ayahmu (Nami kesal dan menoleh kebelakang). Kudaku t’lah kulepas karna aku geram padamu”. Nami lalu menjauh beberapa meter darinya dan mengacungkan pedang kodachinya kearah Takihiro. Takihiro merasa sangat bersalah, ia lalu meminta maaf pada Nami dan berjanji akan membuatnya bahagia. “kamu tentunya tidak akan membunuh orang yang kamu cintai kan ? hiduplah bersamaku, paman Roku yang telah membunuh ayahku...dan sekarang ia sudah diasingkan”. Selama tiga bulan, ternyata Takihiro sakit parah akibat pertempurannya melawan ksatria negeri Timur yang menyerang istana secara tiba-tiba. Nami tersenyum dan akhirnya memaafkan Takihiro yang sangat dicintainya itu. Beberapa hari kemudian mereka menikah, semua penduduk desa dan tamu dari kerajaan sekutu menyaksikannya. Perayaan diadakan secara sederhana, Nami meminta agar disetiap sudut desa ditaNami bunga sakura, bunga yang selalu Takihiro bawa ketika menemui Nami di hutan.